Lebih jauh, mahasiswa juga didorong untuk menciptakan keberlanjutan dari program ini.
Rencana jangka panjang seperti sesi audisi, kolaborasi dengan media lokal, serta pendampingan konten digital diusulkan agar hasil pelatihan tidak berhenti pada satu titik, melainkan menjadi proses pemberdayaan yang berkelanjutan.
Program ini menjadi cerminan bahwa digitalisasi bukan hanya agenda teknologi, melainkan juga gerakan sosial yang mampu membuka jalan transformasi.
Di tengah hiruk pikuk kota, para pengamen yang selama ini berada di tepi sistem kini memiliki peluang untuk berdiri sejajar dalam ekosistem ekonomi kreatif yang inklusif.
Pesan yang disampaikan dalam kegiatan ini sangat jelas: inklusi digital adalah hak semua warga, tanpa terkecuali.
Memberi ruang, ilmu, dan akses kepada mereka yang berada di pinggiran sosial adalah langkah penting dalam mewujudkan keadilan teknologi.
Dengan hadirnya mahasiswa UNAIR dalam inisiatif ini, terbukti bahwa transformasi sosial dapat dimulai dari gagasan sederhana yang dieksekusi secara berani dan berorientasi pada kebermanfaatan.
Ketika ilmu pengetahuan turun ke jalan, maka jalan itu pun berpotensi menjadi ruang pembebasan dan pemberdayaan.
Di akhir acara, para musisi jalanan unjuk kebolehan dengan talentanya masing-masing.
Menariknya, penampilan ini merupakan bagian terpenting dari rangkaian acara, karena di bagian ini akan dipilih 3 peserta terbaik.
Dan penampilan dengan penilaian terbaik mendapatkan apresiasi dari panitia berupa uang tunai.
Juara pertama bahkan mendapatkan kesempatan untuk rekaman di studio music milik Edi Hazt dan bakal manggung di salah satu cafe di Delta Mall Plaza.